Jakarta,
JAKARTADIPLOMATS.com - Mantan Wakil
Presiden Jusuf Kalla mengimbau masyarakat agar cermat memilih pemimpin. Dia
menyarankan memilih pemimpin yang tidak suka marah-marah. Sebab, kalau
pemimpinnya suka marah, ia khawatir akan berdampak pada rakyat yang
dipimpinnya.
"Kalau kawan kita yang satu marah terus, bagaimana
kira-kira negara dipimpin oleh orang yang suka marah? Bagaimana kira-kira kalau
dia berdebat dengan kepala negara lain, bisa ditonjok kepala negara lain,"
imbuh JK, panggilan akrab Jusuf Kalla.
Sentilan JK lantas direspons oleh Sekretaris TKN
Prabowo-Gibran, Nusron Wahid yang menyebut Prabowo adalah pihak yang disentil
JK. Nusron menyebut Prabowo suka joget, bukan suka marah. Benarkah?
Tabiat Prabowo yang suka marah agaknya bukan terjadi
saat debat Capres saja. Sejak 26 tahun yang lalu sebuah buku sejarah telah
mencatat bahwa capres 3 kali gagal itu memang sering marah, bahkan di depan
presiden.
Fakta ini terungkap dalam sebuah perseteruan antara
Presiden Habibie dan Pangkostrad Prabowo Subianto tahun 1998. Episode ini
selalu menarik untuk disimak, apalagi soal kontroversi berakhirnya karier
militer menantu Soeharto itu, apakah dipecat atau tidak.
Tamatnya karier militer Prabowo terjadi saat Bacharudin
Jusuf Habibie menjabat sebagai Presiden tahun 1998. Habibielah yang mencopot
Prabowo Subianto kala itu dari jabatan Panglima Kostrad (Komando Strategis
Angkatan Darat). Prabowo sempat marah dan menolak dengan meminta penundaan 3
bulan, 3 minggu, hingga 3 hari. Akan tetapi Habibie tetap bersikukuh
menolaknya.
Cerita itu ditulis Habibie dalam Buku setebal 549
halaman berjudul, Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju
Demokrasi terbit tahun 2006.
Di halaman 102 buku tersebut terdapat cerita dialog
Presiden BJ Habibie dengan Prabowo saat dilakukan pergantian Panglima Kostrad
pada 23 Mei 1998. Pergantian Komandan Kostrad secara mendadak itu lantaran
Habibie mendapat laporan dari Pangab Wiranto tentang terjadinya pergerakan ABRI
di seputar kediaman Habibie di Kuningan, Jakarta.
Habibie bercerita, “Sekitar pukul 09.00, saya
meninggalkan Kuningan menuju Istana Merdeka didampingi oleh perangkat keamanan
Presiden, ADC, Sintong Panjaitan, Ahmad Watik Pratiknya, Jimly Asshiddigie,
Gunawan Hadisusilo, dan Fuadi Rasyid. Saya memasuki Istana Merdeka dari pintu
gerbang depan sebelah barat. Di depan tangga, Pangab Wiranto menantikan
kedatangan saya dan memohon untuk diperkenankan melaporkan keadaan di lapangan,
tetapi hanya empat mata.
Saya katakan bahwa saya tidak memiliki banyak waktu,
karena sudah terlambat satu jam dan ini dapat menimbulkan spekulasi bahwa saya
tidak berhasil membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan. Saya persilakan Wiranto
mengikuti saya ke ruang kerja Presiden di Istana Merdeka.
Di ruang kerja Presiden, Pangab melaporkan bahwa
pasukan Kostrad dari luar Jakarta bergerak menuju Jakarta dan ada konsentrasi
pasukan di kediaman saya di Kuningan, demikian pula Istana Merdeka. Jenderal
Wiranto mohon petunjuk. Dari laporan tersebut, saya berkesimpulan bahwa
Pangkostrad bergerak sendiri tanpa sepengetahuan Pangab.”
Pangab Jenderal Wiranto mengusulkan Panglima Divisi
Siliwangi dari Jawa Barat sebagai Pangkostrad. Memerhatikan Instruksi Presiden
agar pergantian Pangkostrad harus dilaksanakan sebelum matahari terbenam dan
karena masalah teknis pelantikan Panglima Divisi Siliwangi baru hanya dapat
dilaksanakan keesokan harinya, maka Pangkostrad sementara akan dijabat oleh
Asisten Operasi Pangab Letjen Johny Lumintang. Kepada Letjen Johny Lumintang
akan diperintahkan untuk segera mengembalikan semua pasukan ke basis
masing-masing sebelum matahari terbenam.
Habibie menyetujui usul Pangab untuk melantik Panglima
Divisi Siliwangi, Mayjen Djamari Chaniago sebagai Pangkostrad esok harinya pada
tanggal 23 Mei 1998. Usul untuk menugaskan Letjen Johny Lumintang agar menjadi
Pangkostrad sementara juga dapat diterima Habibie.
Setelah pembicaraan dengan Pangab selesai, ADC
melaporkan bahwa Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto minta waktu bertemu.
“Apakah perlu saya bertemu? Apa gunanya bertemu? Letjen
Prabowo adalah menantu Presiden Soeharto. Pak Harto baru 24 jam meletakkan
jabatannya. Pak Harto yang telah memimpin negara dan bangsa selama 32 tahun,
tentunya memiliki pengaruh dan prasarana yang besar dan kuat,” kata Habibie.
Prabowo akhirnya menghadap BJ Habibie di Istana Merdeka
untuk mempertanyakan pencopotan dirinya dari jabatan Pangkostrad.
Kedatangan Prabowo untuk bertemu Habibie perlu
diungkap, karena baru pukul 06.10 pagi, Habibie menelepon Jenderal Wiranto dan
meminta untuk menempati jabatan Menhankam/Pangab dalam kabinet yang baru saja
dibentuk.
“Hanya sekitar tiga jam kemudian, saya menerima laporan
mengenai gerakan pasukan Kostrad. Oleh karena itu, kepada Pangab saya beri
perintah untuk segera mengganti Pangkostrad, dan kepada Pangkostrad baru
diperintahkan untuk mengembalikan pasukan Kostrad ke basis masing-masing pada
hari ini juga sebelum matahari terbenam,” kata Habibie.
Kebijakan ini kata Habibie berlaku pula bagi tiap
gerakan pasukan tanpa sepengetahuan dan koordinasi Pangab. Komandan yang
bertanggung jawab akan segera diganti. Mengapa Prabowo tanpa sepengetahuan
Pangab telah membuat kebijakan menggerakkan pasukan Kostrad?
Menurut Habibie, sebagai seorang militer profesional,
Pangkostrad sudah harus memahami “Saptamarga” dan “Sumpah Prajurit”. Dengan
mengambil kebijakan tanpa koordinasi dan tanpa sepengetahuan Pangab,
Pangkostrad telah melanggar “Sumpah Prajurit”. Mengapa? Mau ke mana?
“Sebelum saya menerima Prabowo, saya berusaha mencari
jawaban atas pertanyaan tersebut,” kata Habibie.
Prabowo lahir dan dibesarkan di lingkungan yang sangat
intelektual dan rasional. Disiplin intelektual memungkinkan untuk menganalisis,
mempertanyakan, memperdebatkan tiap jejak seorang diri atau dengan
lingkungannya, termasuk dengan atasannya.
Berbeda halnya dengan disiplin militer. Setiap langkah
harus dilaksanakan sesuai perintah atasan walaupun bertentangan dengan pendapat
pribadi pelaksana perintah tersebut.
Pembawaan Prabowo Subianto masih bernapaskan disiplin
intelektual, yang dalam melaksanakan tugasnya tidak selalu menguntungkan.
Sebagai seorang militer profesional, ia harus tunduk pada disiplin militer.
Karena Prabowo adalah menantu Presiden Soeharto di mana
budaya feodal masih subur, maka dalam gerakan dan tindakannya sering terjadi
konflik antara disiplin militer dan disiplin sipil. Apa pun yang dilakukan akan
ditolerir dan tidak pernah mendapat teguran dari atasannya. Kebiasaan pemberian
“eksklusivitas” kepada Prabowo adalah mungkin salah satu penyebab gerakan
pasukan Kostrad tanpa konsultasi, koordinasi, dan sepengetahuan Pangab terjadi.
Kebiasaan tersebut mungkin terjadi bukan karena
kehendak Presiden Soeharto, tetapi lingkungan feodallah yang memperlakukannya
demikian.
“Walaupun saya sangat akrab dan dekat dengan Prabowo
—ja menganggap saya sebagai salah satu , tetapi
tersebut tidak boleh saya tolerir dan biarkan. Ini suatu pelajaran bagi
semua bahwa dalam melaksanakan tugas, pemberian “eksklusivitas” kepada siapa
saja, termasuk kepada keluarga dan teman, tidak dapat dibenarkan.
Kemudian ketika Prabowo masuk ke ruang saya, melihat
bahwa Prabowo tidak membawa senjata apa pun, saya merasa puas. Hal ini berarti
pemberian “eksklusivitas” kepada Prabowo tidak dilaksanakan lagi,” paparnya.
Terjadi suatu dialog antara Presiden dan Pangkostrad,
dan sebagaimana biasa jika mereka bertemu, berbicara dalam bahasa Inggris.
Prabowo dengan nada marah mengatakan, “Ini suatu
penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto, Anda
telah memecat saya sebagai Pangkostrad.”
Saya menjawab, “Anda tidak dipecat, tetapi jabatan Anda
diganti.”
“Mengapa?” tanya Prabowo.
Saya menyampaikan bahwa saya mendapat laporan dari
Pangab bahwa gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan Istana
Merdeka.
“Saya bermaksud untuk mengamankan Presiden,” kata Prabowo.
“Itu adalah tugas Pasukan Pengamanan Presiden yang
bertanggung jawab langsung pada Pangab dan bukan tugas Anda,” jawab saya.
“Presiden apa Anda? Anda naif!” jawab Prabowo dengan
nada marah.
“Masa bodoh, saya Presiden dan harus membereskan keadaan
bangsa dan negara yang sangat memprihatinkan,” jawab saya.
Prabowo memohon kepada Habibie agar diberi waktu tiga
bulan menguasai pasukan. “Atas nama ayah saya Prof. Soemitro Djojohadikusumo
dan ayah mertua saya Presiden Soeharto, saya minta Anda memberikan saya tiga
bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad,” mohon Prabowo.
Habibie lantas menjawab dengan tegas, “Tidak! Sampai
matahari terbenam Anda sudah harus menyerahkan semua pasukan kepada Pangkostrad
yang baru!”
Prabowo belum menyerah, ia memohon lagi untuk bisa
berkuasa di Kostrad tiga minggu bahkan tiga hari. “Berikan saya tiga minggu
atau tiga hari saja untuk masih dapat menguasai pasukan saya!”
Habibie kembali menyatakan ketegasannya dan langsung
menjawab, “Tidak! Sebelum matahari terbenam semua pasukan sudah harus
diserahkan kepada
Pangkostrad baru! Saya bersedia mengangkat Anda menjadi
duta besar di mana saja.”
Prabowo masih nawar lagi. "Yang saya kehendaki
adalah pasukan saya!” jawab Prabowo.
“Ini tidak mungkin, Prabowo!,” jawab Habibie.
Percakapan Habibie dengan Prabowo terus berlangsung
memanas. Sampai akhirnya salah satu staf khusus Presiden Sintong Pandjaitan
meminta, Prabowo meninggalkan ruangan karena Presiden Habibie akan menerima
tamu berikutnya.
Sintong Panjaitan masuk dan mengatakan, “Jenderal,
Bapak Presiden tidak punya waktu banyak dan harap segera meninggalkan ruangan.”
Presiden Habibie mengatakan, “Sebentar,” dan Sintong
Panjaitan meninggalkan ruangan lagi.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Prabowo untuk meminta
agar ia dapat berbicara melalui telepon dengan Pangab Wiranto. Habibie kemudian
menugaskan kepada salah satu ADC Presiden yang berada di ruangan untuk segera
menghubungi Pangab. Setelah menelepon ke Markas Besar ABRI, ADC Presiden
menyampaikan bahwa Pangab tidak dapat dihubungi.
Untuk kedua kalinya pintu terbuka dan Sintong Panjaitan
mempersilakan Prabowo meninggalkan ruangan karena tamu Habibie, Gubernur Bank
Indonesia sudah tiba dengan staf, bersama Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita.
Habibie masih sempat memeluk Prabowo dan menyampaikan
salam hormat saya untuk ayah kandung dan ayah mertua Prabowo. “Kemudian, saya
didampingi anak saya, Thareq, meninggalkan ruang tamu untuk menengok istri,
anak, dan cucu,” kata Habibie.
Habibie mengakui bahwa Prabowo Subianto putra tertua
dari keluarga yang sangat terhormat, sangat intelektual, dan sangat kritis.
Bahkan, ayah kandungnya adalah salah satu idolanya sejak masih di SMA. Dedikasi
Prabowo, begitu pula orang tua dan saudara-saudaranya terhadap bangsa dan
negara, tidak perlu diragukan.
“Saya percaya bahwa iktikad dan niat Prabowo untuk
melindungi saya adalah tulus, jujur, dan tepat. Masalahnya iktikad dan niat
yang baik dan tepat itu dilaksanakannya tanpa sepengetahuan dan koordinasi
dengan Pangab. Kesimpulan ini saya ambil ketika tadi pagi Pangab melaporkan
mengenai gerakan pasukan Kostrad. Dari laporan tersebut secara implisit
dinyatakan bahwa tindakan Pangkostrad, tidak sepengetahuan dan dikoordinasikan
dengan Pangab,” kata Habibie.
Hal itu tidak dapat ditolerir, karena akan memengaruhi
para komandan lainnya untuk bertindak sendiri-sendiri dengan alasan apa pun
tanpa koordinasi. Sikap demikian dapat mengakibatkan kekacauan bahkan perang
saudara yang memungkinkan proses “Balkanisasi” Republik Indonesia.
“Bukankah kemarin pagi tanggal 20 Mei 1998 saya telah
sampaikan kepada Pangab bahwa saya tidak akan menerima kepala staf angkatan
termasuk Pangkostrad sendiri-sendiri tanpa sepengetahuan atau permohonan
Pangab? Ini berarti gerakan pasukan dari Kostrad tanpa sepengetahuan Pangab
tidak boleh saya tolerir,” kata Habibie.
Lalu mengapa Habibie memberi batas waktu sebelum
matahari terbenam dan pada hari ini juga pasukan harus kembali ke basis
masing-masing, ketika pasukan Kostrad sedang bergerak?
“Peralatan dan teknologi kita masih belum memungkinkan
untuk memantau gerakan pasukan pada malam hari. Alasan ini pula saya manfaatkan
ketika saya harus memutuskan siapa yang akan menjadi Menhankam/Pangab dalam
Kabinet Reformasi Pembangunan,” kata Habibie.
Setelah Habibie bersama istri dan anak-anaknya
melaksanakan shalat Ashar, ia kembali ke ruang tamu untuk menerima Gubernur
Bank Indonesia, Syahril Sabirin, dengan timnya, didampingi oleh Ginandjar
Kartasasmita.
Gubernur Bank Indonesia melaporkan, keadaan ekonomi
berkembang ke arah hiperinflasi. Suku bunga sudah berkisar antara 60 persen dan
90 persen. Nilai rupiah berada antara Rp14.000 dan Rp17.000 untuk tiap dolar
AS, dan menujv ke Rp20.000 per dolar AS seperti ramalan Perdana Menteri
Singapura Lee Kuan Yew.
Karena ketidakpastian, krisis moneter dan krisis
politik modal mulai lari ke luar negeri dan pengangguran teruf meningkat.
Akibatnya, yang hidup di bawah garis kemiskinan terus bertambah. Keadaan
semakin memprihatinkan. Cadangan devisa sudah menciut menjadi sekitar 68 persen
dari cadangan semula. Setelah melaporkan keadaan ekonomi nasional, Gubernur
Bank Indonesia memohon pengarahan dan petunjuk presiden.
Syahdan, setelah dicopot dari jabatan Panglima Kostrad,
Prabowo dikirim ke Bandung menjadi Komandan Sesko ABRI. Tak lama kemudian Dewan
Kehormatan Perwira dibentuk.
Dewan Kehormatan Perwira dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Pangab Nomor Sekp/533/P/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998. Sebelum
mengambil keputusan ini, Dewan Kehormatan Perwira telah bersidang pada tanggal
10, 12, dan 18 Agustus 1998 dengan terperiksa Letnan Jenderal TNI Prabowo
Subianto sebagai Danjen Kopassus.
Dewan Kehormatan Perwira pada akhirnya mengeluarkan
surat keputusan Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP. Surat tersebut dibuat dan ditandatangani
pada 21 Agustus 1998 oleh Ketua Dewan Kehormatan Perwira Jenderal TNI Subagyo
Hadi Siswoyo, Sekretaris Letjen TNI Djamari Chaniago, Wakil Ketua Letjen TNI
Fahrul Razi, anggota Letjen Susilo Bambang Yudhoyono, dan anggota Letjen Yusuf
Kartanegara. Isinya adalah sederet pelanggaran Prabowo dan menutup dengan
rekomendasi pemecatan dari TNI. (*)
0 Komentar